'ntar buku yang
lain taruh
disini gambarnya.
Tentunya dengan sedikit
penjelasan dari buku itu.
|
|
Judul
buku : Student Hidjo, Sebuah Novel
Pengarang : Mas Marco Kartodikromo
Penerbit : Bentang Budaya
Tahun : 2000
Jumlah Hal : 170 + xii hal
Harga : Rp. 17.500,00 |
Deskripsi
:
Demam buku-buku kiri agaknya tengah melanda masyarakat kita.
Maka buku-buku semacam karangan Pramoedya Ananta Toer, Tan
Malaka, banyak ditemui di toko buku. Bandingkan pada waktu
buku-buku sejenis itu masih dilarang. Kini, para penerbit
buku berlomba-lomba mencari naskah-naskah lama untuk diterbitkan
kembali. Salah satunya naskah Student Hidjo yang diterbitkan
kembali oleh Yayasan Bentang Budaya.
Sama seperti novel Semaoen yang ditulis pada tahun 20-an,
Student Hidjo adalah sebuah novel yang juga ditulis pada
dekade kedua abad XX. Masa-masa yang dalam sejarah "resmi"
disebut, dengan penuh pengagungan, sebagai Kebangkitan Nasional.
Sebagai produk zamannya, novel ini pun merekam suara atau
semangat zaman kala itu, "bumiputera" bergerak mencari bentuk-bentuk
ekspresi bagi kesadaran, gagasan dan sikap politik yang
baru ketika menghadapi kenyataan di Hindia-Belanda yang
juga mereka rasakan bergerak.
Pada waktu buku ini ditulis, ketika itu masih ramai-ramainya
orang mengirimkan anak-anaknya untuk bersekolah di luar
negeri, termasuk ke Belanda. Hidjo, yang pada waktu itu
baru lulus dari HBS dikirim oleh ayahnya untuk belajar ke
luar negeri. Ayahnya, Raden Potronojo, termasuk orang yang
cukup berpandangan luas. Ia tidak menginginkan anaknya menjadi
pegawai rendahan. Ia ingin anaknya menjadi seorang ingenieur
(insinyur-red). Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya dan kaum
pribumi lainnya juga memiliki hak dan kewajiban yang sama.
".....Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu,
tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa
mengerti bahwa manusia itu sama saja. Buktinya anak kita
juga bisa belajar seperti regent-regent (bupati-red) dan
pangeran-pangeran." (Halaman 3).
Dan Hidjo menemukan itu, yang ia sendiri pun tidak pernah
membayangkannya sebelumnya. Ketika ia tiba di Amsterdam,
dan kapalnya merapat ke pelabuhan. Hidjo merasakan suasana
yang luar biasa. Bukan karena bagusnya pakaian orang-orang
yang ada disitu atau indahnya pemandangan di sekitar pelabuhan.
Tetapi luar biasa karena mulai saat itu ia bisa memerintah
orang-orang Belanda. Orang-orang yang dinegerinya (Indonesia-red)
selalu dihormati dan besar kepala.
Setelah Hidjo dan Leerar-nya (guru-red) turun dari kapal,
mereka langsung ke hotel. Kedatangannya disitu, Hidjo dihormati
betul oleh para pelayan hotel. Sebab mereka berpikir, kalau
orang yang baru datang dari Tanah Hindia pasti banyak uangnya.
Lebih-lebih kalau orang Jawa. Maka dari itu Hidjo tertawa
dalam hati melihat keadaan serupa itu. Karena ia ingat nasib
bangsanya yang ada di tanah airnya sama dihina oleh bangsa
Belanda. "Kalau di Negeri Belanda, dan ternyata orang-orangnya
cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia
musti diperintah oleh orang Belanda," begitu kata Hidjo
dalam hati. (Halaman 46).
Tidak seperti buku-buku perjuangan lain yang acapkali membuat
kita bosan, buku ini lumayan mengasyikkan. Hampir sebagian
besar isinya adalah kisah cinta para pemuda di masa itu.
Toh, tidak susah juga menemukan semangat kebangsaan yang
menjadi tema sentral dari buku ini. Sebuah kebanggaan pada
negeri sendiri. Negeri dengan rakyat yang miskin dan bodoh,
yang tengah merintis kemerdekaannya sendiri. |
|
|